Tak terasa, semester genap di tempat saya mengajar akan segera kami jalani... Bukan menjadi sebuah kebetulan, semester baru genap selalu diawali di tahun yang baru...Kata orang Tahun baru, diawali dengan Resolusi baru....Itu sah-sah saja...Dan saya sepakat dengan hal tersebut...Bagi saya tahun baru berarti akan ada nilai yang akan saya pelajari untuk saya hidupi.....
Bertolak dari sebuah moment, dimana keluarga besar tempat dimana saya menjadi salah satu penambang ilmu psikologi baru saja mengalami sebuah kedukaan luar biasa, karena kami kehilangan GURU kami yang tak hanya sekedar guru biasa.... Dan inilah catatan terakhir yang beliau sempat tuliskannya bagi kami... dan bagi saya secara pribadi, catatan ini sangat istimewa bagi saya, karena menjadi inspirasi bagaimana saya bisa menjadi seorang "guru" seperti beliau, dan ingin saya terus hidupi sejak tahun ini.... :)
Sebenarnya tidak benar-benar berawal dari moment ini saja, namun catatan ini menjadi PENEGUHAN dari seorang GURU untuk saya... Sebuah nilai akan pentingnya tujuan hidup, yang seharusnya menjadi pondasi saya dalam menentukan pengambilan keputusan dalam pilihan hidup.... Hakikat pilihan hidup kita adalah untuk hidup kita, bukan untuk orang lain...Nilai sudah saya genggam sebelumnya, dan akan semakin saya genggam erat setelah ini...
Ketika saya membaca catatan beliau, saya langsung merasa "deg"... seperti tertohok di ulu hati saya....pengalaman saya beberapa tahun ini di dunia pendidikan, sangat dekat sekali dengan realita bagaimana anak-anak muda di depan saya belum sepenuhnya bisa menghidupi pentingnya sebuah tujuan hidup bagi diri mereka... Bagaimana mereka seperti kehilangan diri mereka sendiri karena pilihan yang kebanyakan tidak mereka buat sendiri.... Dan sekali lagi tulisan ini memberikan peneguhan bagaimana saya harus mau benar-benar membagikan sebuah "rahasia besar" ini kepada mereka...Terima kasih Guru...Terima kasih Pak Ino...Inilah pilihan hidup saya Pak.... :)
Berikut catatan beliau........
Setelah beberapa
kali maut nyaris menghampiriku, kini akhir perjalanan telah kujelang.
Aku telah sampai pada akhir dari sebuah perjalanan. Aku tidak pernah
menyesal maupun malu. Akhir perjalanan ini adalah awal sebuah perjalanan
baru bagiku. Teman, aku akan mengatakan secara tegas tentang apa yang
kuyakini. Keyakinan yang memanduku selama perjalanan hidup, dari awal
hingga saat ini, diujung akhir. Aku tak akan bicara panjang lebar. Bukan
sebagai wasiat, tetapi mungkin engkau bisa mengambil pelajaran.
Aku
telah mengalami banyak kejadian. Tidak semua, tetapi apapun yang aku
alami adalah pilihanku. Aku jalani setiap pilihan seutuhnya. Aku
menghidupkan setiap pilihan sehidup-hidupnya. Mungkin ada keraguan.
Mungkin ada penyesalan. Mungkin ada kekeliruan. Tetapi tak cukup besar
sebagaimana keyakinanku dalam menjalani pilihanku.
Hidup adalah mengenai
tujuan sekaligus cara kita menjalaninya. Kesedihan terbesarku adalah
ketika menyaksikan banyak orang menjalani hidup tanpa menjalaninya.
Orang menjalani kehidupan yang menjadi pilihan orang lain, tidak
menjadikan hidup sebagai bagian dari dirinya. Hidup seolah sebagai beban
dari orang lain yang dibebankan kepadanya. Jangan heran, bila dalam
banyak perjumpaan aku banyak bertanya. Pertanyaan mengenai tujuan-tujuan
dari pilihan tindakanmu. Untuk apa kuliah? Untuk apa belajar? Untuk apa
bekerja? Untuk apa hidup? Banyak orang terkejut, bahkan terganggu atas
pertanyaan sederhanaku ini. Banyak orang yang mengabaikan pertanyaan itu
karena hidup tidak menjadi bagian dari dirinya. Mengapa aku tanyakan
pertanyaan sederhana itu? Hidup adalah anugerah bagimu, sebagaimana
engkau adalah anugerah bagi sesama dan kehidupan. Bagaimana bisa
mensyukuri anugerah bila kita tidak tahu kemana kita akan menuju dalam
hidup? Namun pertanyaan sederhana mengenai tujuan hidup sering kali
tidak menemukan jawaban. Banyak orang tetap memilih untuk tidak menjawab
pertanyaan itu, apalagi untuk menjalani jawabannya. Orang memang lebih
nyaman untuk menjalani apa yang sudah dijalani bertahun-tahun meski dia
tidak tahu kemana arah tujuan.
Ada banyak orang yang tidak menyukai cara
mengajarku. Mereka mengatakan caraku mengajar itu biadab. Sayangnya,
cara-cara yang disebut biadab itu yang lebih sering membuat orang berani
meninggalkan kenyamanannya. Cara-cara biadab itu yang justru
menyebabkan orang tergerak untuk menjadi orang yang lebih beradab.
Bukannya aku menyukai cara-cara biadab itu. Aku tahu, banyak yang
membenci cara-caraku itu. Aku tahu, banyak orang mengindari aku. Aku
tahu, banyak orang bicara seperlunya denganku. Aku juga tau, ada
orang-orang yang menertawaiku. Aku hadapi konsekuensinya selama sebuah
cara bisa membuat orang lebih terdidik.
Aku sangat mencintai pendidikan.
Aku sangat menyukai mendidik, berapapun biaya yang dibutuhkan untuk
melakukan itu. Meski aku seolah menjadi monster ganas yang ditakuti
orang, meski aku seolah berada di puncak gunung, sendiri dan sepi,
cintaku pada pendidikan melampaui semuanya itu. Mendidik adalah
panggilan hidupku. Selama perjalanan hidup, aku telah melakukan banyak
tindakan. Aku nikmati beragam suasana dalam perjalananku itu. Ada
kalanya, tawa bahagia menjadi warna. Tak jarang, kesepian datang
menyergapku, seperti disergap sekawanan serigala yang lapar. Tetapi aku
nikmati kesepian itu, sebagaimana aku menikmati tawa bahagia.
Terimakasih, telah menjadi temanku, dikala tawa menjadi warna,
terimakasih pula ketika sepi datang menggigit.
Teman, selama
perjalanan ini, aku telah bertemu engkau. Mungkin pada suatu belokan,
pada jalan lurus terbentang, pada turunan curam atau jalan yang mendaki
tajam. Setiap momen perjumpaan mempunyai warnanya sendiri. Engkau
mungkin mengenalku pada suatu momen, mungkin tak mengenalku di momen
yang lain.
Ya, inilah aku. Inilah kehidupan yang beragam ini. Aku
mungkin seperti yang kau bayangkan, sekaligus bukan seperti yang kau
bayangkan. Bila dalam perjumpaan tersebut ada pelajaran, ambil dan
manfaatkan. Bila dalam perjumpaan tersebut ada perbedaan, jadikanlah
sebagai cermin. Janganlah sesekali berusaha meniruku. Engkau adalah
keagungan kehidupan sejati. Engkau adalah anugerah bagi kehidupan.
Jadilah dirimu. Jalani jalanmu. Apa artinya manusia bila tidak menjadi
dirinya sendiri? Kebanggaanku dalam hidup bukanlah karena jasa-jasaku
pada kehidupan. Kebanggaanku terbesar adalah terhadap pilihanku untuk
menempuh jalanku sendiri. meski terjal, meski sendiri, meski sepi.
Apapun akibatnya, aku bangga mengatakan bahwa inilah jalanku.
Sekarang, aku sudah
di akhir perjalananku. Aku tidak lagi menentukan pilihan. Engkaulah
yang mempunyai pilihan. Memanfaatkan kesalahanku atau membiarkan
kesalahanku menjadi ganjalan dalam hatimu. Mengambil pelajaran dari
perjalananku atau melupakan pelajaran seiring waktu berjalan. Aku tidak
pergi meninggalkanmu. Aku melanjutkan perjalananku. Akhir perjalanan
hidupku adalah awal sebuah perjalanan baru. Sapalah aku bila kita
berjumpa dalam perjalanan yang sama di lain waktu. Aku akan dengan
senang hati meluangkan waktuku untuk berbicara lagi denganmu.
Dari hati yang paling dalam. Temanmu,
Christophorus Daniel Ino Yuwono