Selasa, 26 April 2011

PANGGILAN
Oleh Wenny Rosalia Kusumawardani
       
Akhir-akhir ini, hidup yang kemarin serasa ayem tentrem sempat terusik oleh sesuatu. Yah ketika pulang ke kampung, orang tua (Mama.red) sempat berkata ”Dik, ndak pingin cari pandangan lain? Masak cuma gini-gini aja”. Lhah berarti beliau melihat apa yang menjadi profesi saya saat ini kurang ”pas”. Walah.... Dan usut punya usut, dasar beliau berkata demikian karena saya pernah mengatakan bahwa jangan berpikir kalau di tempat saya bekerja itu sudah ”enak”.
        Sempat Mama kembali mengungkit tawaran perusahaan rokok dan lowongan kerja di bank sebagai alternatif pilihan, dimana secara finansial memang lebih menjanjikan. Namun bujukan Mama masih belum membuat saya berbalik arah. Jika saya refleksikan kembali, sebagai orang tua sangat sangat wajarlah jika menginginkan anaknya hidup enak, dalam hal ini temasuk bekerja di tempat yang enak pula. Dan memang Mama mengaku sempat khawatir ketika saya berkata sebaliknya. Dimana gajinya terhitung masih kecil (jauh di bawah orang awam mengira jika dibanding dengan nama besar tempat saya bekerja), juga masalah kesempatan untuk berkembang masih terlalu kecil. Isu ini bisa diangkat menjadi topik utama di tempat saya bekerja sebenarnya jika mau. Dan inilah yang kemudian terjadi.
Ngomong-ngomog masalah keenakan, kenyamanan, memang sih banyak orang mengira tempat kerja saya sekarang ini sudah enak, dan bisa membuat saya krasan. Hal tersebut karena nama besar yang telah di sandang oleh tempat saya mengabdi. Dan biasa lah rumput tetangga pasti terlihat lebih hijau. Padahal sebenarnya mungkin sama saja. Setiap tempat kerja pasti punya kesulitan dan hambatan sendiri-sendiri. Inilah senjata yang saya gunakan untuk membuat diri saya lebih tenang.
        Tapi bukan ini yang ingin saya bahas lebih lanjut, namun masalah alasan di balik profesi yang saya pilih.
         Sebenarnya tidak pernah terbayang sama sekali saya akan menjadi seorang guru. Tidak pernah ada pikiran ketika masih kecil atau ketika remaja bakal menggeluti profesi ini. Bahkan dari silsilah keluarga pun (keluarga sedarah) tidak ada yang menjadi guru. Keinginan ini datang begitu saja, ketika kuliah saya mulai menggeluti dunia pendidikan, kemudian dari sana saya belajar untuk membagikan ilmu kepada orang lain, dan alhasil ada ”sesuatu” yang saya dapatkan yang tak pernah saya rasakan sebelumnya. Inilah yang pada akhirnya saya yakini sebagai sebuah PANGGILAN.
        Layaknya perikop dalam kitab suci ”Bukanlah kamu yang memilih Ku, Namun Aku yang memilih mu”. Berbekal ayat tersebut, sampai saat ini saya bangga karena menjadi yang terpilih untuk menjadi seseorang yang digugu lan ditiru (akronim dalam bahasa jawa dari GuRu.red). Di mana benih panggilan profesi ini kian hari pun makin menyusut dalam hal kuantitas dan kualitasnya.
        Panggilan ini kian lama kian terpupuk setelah saya menjalani tahun kedua saya di tempat saya mengabdi sekarang ini. Bukan sesuatu yang mudah dan otomatis terbentuk keyakinan akan panggilan ini. Proses tetap saya alami. Enak tidak enaknya profesi ini sudah saya alami sedikit demi sedikit. Bahkan sempat saya menangisi kebimbangan saya akan keyakinan pada panggilan profesi saya ini. Namun entah mengapa saya sampai saat ini makin mencintainya. Dan itulah yang menguatkan saya, selain dukungan positif dari rekan sejawat dan orang-orang di sekitar saya.
        Bagi saya, melalui profesi inilah saya bisa memberikan diri saya seutuhnya. Melalui profesi ini saya merasakan yang namanya bekerja dan berkarya. Itulah yang bisa saya lakukan sebagai bentuk ”balas budi” akan berkat yang telah saya rasakan di masa pendewasaan saya. Mukzijat yang luar biasa yang tidak akan pernah terjadi kalau bukan Tuhan sendiri yang berkarya.
        Untuk masalah gaji atau kesempatan mungkin memang belum waktunya, atau saya memang belum pantas untuk mendapatkannya. Namun walaupun begitu saya masih percaya Tuhan mencukupi kebutuhan saya. Inilah wujud keteguhan saya terhadap doa Bapa Kami, yang setidaknya pasti saya doakan setiap minggunya di gereja.
        Sampai dengan detik ini ketika saya menulis ini, bagaimana pun juga saya masih mendoakan panggilan saya. Semoga Tuhan berkenan memberikan petunjuk dan menguatkan serta meneguhkan. Apakah Tuhan mengharapkan saya tetap menjadi guru bagi anak-anaknya, apakah saya akan masih tetap bekerja dan berkarya seterusnya di tempat saya mengabdi sekarang ini, atau pada akhirnya beberapa tahun kemudian saya berada di tempat lain dengan profesi yang berbeda. Hanya Tuhan yang tahu.
        Semoga Anda sekalian juga telah menemukan panggilan Anda sendiri dalam berbagai bentuknya. Tuhan Memberkati.


Rabu, 27 April 2011
PERLUKAH MASA LALU KITA BICARAKAN?
Oleh Wenny Rosalia Kusumawardani

Perlu. Itu jawaban dariku.
Bukan hanya sekedar iseng atau tanpa tujuan. Karena itu penting untukku. Aku ingin tahu bagaimana kamu di masa yang lalu. Agar ku mengenal kamu lebih dalam.
Sakit. Itu resiko yang harus ku terima. Sedih. Semoga itu kurasakan sementara waktu. Dan ternyata itu memang yang kurasakan kemarin. Masa lalu mu yang berkesan ternyata menggangguku pula.
Yang menjadi berat untukku ternyata apa yang telah kamu lewati, itu bertentangan dengan prinsipku. Membayangkanmu melakukannya sebenarnya membuatku sedih dan sakit. Tapi ku kembali pada tujuanku. Aku harus terima ini. Aku pulalah yang memintamu untuk menceritakannya. Huft.
Semua bukan salahmu, jika ada yang berubah dari sikapku kemarin. Kamu pun tak perlu meminta maaf seperti itu, karena aku tak berhak menyalahkanmu. Aku pun bukan seorang suci yang akan menghakimimu. Aku yang harusnya meminta maaf.
Biarkan sementara ini aku mengambil waktu sejenak. Yah untuk sekedar menenangkan diri. Aku harus bisa menerima mu. Aku memutuskan hidup denganmu. Maka aku harus menerima masa lalu mu juga. Semua proses. Proses butuh waktu juga.
Namun satu hal dari pembicaraan itu, ku masih bisa bersyukur. Ku makin tahu diriku. Dan ku makin tahu dirimu. Sakit dan sedih itu pun sebenarnya berakar dari rasa ku yang mendalam. Dan ketika itu semua terjadi kusadari aku takut. Malam itu kamu pun juga takut.
Semua kembali ke kita berdua. Masa lalu boleh kita kenang dan belajar darinya, namun jangan sampai itu mendikte kehidupan kita sekarang. Itu janjiku ke kamu, dan kuharap itu janjimu pula ke diriku.

Selasa, 05 April 2011
                                                                
   
URIP MUNG MAMPIR NGOMBE
Sebuah Dilema Seorang Manusia dalam Menikmati Air Kebahagiaan
Oleh Wenny Rosalia Kusumawardani


        Pernahkah Anda mendengar wejangan dari orang tua kita urip ing donya iku mung mampir ngombe (Hidup di dunia ini seperti orang yang mampir untuk minum). Mengapa ada falsafah Jawa yang mengatakan demikian? Jawabannya karena hidup kita ini bisa dikatakan singkat, jawaban yang klise namun benar apa adanya.
Kita tak kan pernah tahu kapan kita akan tutup usia. Saya yakin anda sekalian pernah mendapat kabar duka (kematian.red) yang tiba-tiba dan tak pernah menyangka hal tersebut akan terjadi. Dan tak akan ada yang menyangka pula, bahkan diri kita sekalipun, kapan kematian akan menghampiri kita. Tak ada yang bisa memastikannya, paranormal sehebat apapun tak kan sanggup melakukan ini. Sekali lagi dikatakan singkat karena kita tidak tahu kapan kita akan mengalami kematian itu. Itu yang membuat waktu kita terbatasi dan serasa singkat.
        Lalu apa maksud dari wejangan tersebut? Sebenar-benarnya kalau kita mau mencerna sedalam-dalamnya kata-kata tersebut, ada hal tersembunyi selain hanya mengingatkan bahwa deadline kita hidup itu singkat. Tak lain adalah apa yang bisa kita lakukan dalam hidup kita yang singkat ini.
        Dalam hidup pasti ada pilihan. Begitu pun apa yang akan kita lakukan dalam hidup kita pun kembali pada pilihan kita masing-masing. Pasti akan banyak versi jawaban yang terlontar. Ada yang mungkin menjawab ”Saya ingin meraih semua impian-impian saya, pangkat tinggi, ekonomi berkelimpahan, banyak anak, mobil mewah, rumah besar...” Atau ada yang dengan yakinnya mengatakan ”Hidup saya mengalir saja seperti aliran air”
        Anggap saja jawaban itu terbagi menjadi dua pihak. Pasti kedua pihak itu akan saling menyalahkan dan menilai hidupnya satu sama lain. Inilah yang ada akhirnya menimbulkan sebuah dilema bagi seorang manusia dalam rangka mengisi hidupnya.
Kita tak bisa menyalahkan kedua pernyataan di atas. Karena kedua pernyataan tak ada yang benar maupun yang salah. Semua berawal dari sudut pandang kita masing-masing. Bisa saja orang akan mengambil sisi negatif dari pernyataan pertama dengan mengatakan, hidup penuh ambisi dan terlalu ngoyo. Demikian juga pernyataan kedua sisi negatifnya bisa dikatakan sebagai hidup yang tak bertujuan dan tidak ada arahnya. Sekali lagi semua kembali kepada diri kita masing-masing. Kita semua berhak atas hidup kita masing-masing, dan tak ada yang berhak mengaturnya, kecuali Sang Khalik Sang Pemberi Hidup.
Lalu apa yang harus kita lakukan dengan hidup kita jika tidak ada yang benar dan salah? Yang bisa menghantarkan kita pada jawaban tersebut adalah dengan menjawab pertanyaan berikutnya, yaitu ”apa yang sebenarnya kita cari dan ingin rasakan dalam hidup?”
        Pasti akan kembali banyak versi jawaban. Namun saya yakin tak ada yang tak menginginkan satu hal ini. Ya BAHAGIA. Apa pun yang diinginkan pasti ujung-ujungnya karena ingin bahagia. Inilah hal yang paling hakiki di cari manusia. Namun cara minum dan jenis minumanya yang berbeda-beda setiap orang. Percayalah tak ada rumus yang pasti untuk menjadikan diri Anda bisa mengecap air kebahagiaan.
        Dan jika diri Anda merasa pernyataan pertama atau kedua yang paling mendekati diri Anda, itu sah-sah saja. Asalkan air kebahagian itulah yang akan Anda nikmati pada akhirnya.
        Carilah bahagia itu dengan jalan Anda masing-masing. Karena ini hidup Anda, maka Anda pulalah yang mengatur strateginya dan apa yang ingin Anda minum. Jangan pernah bimbang untuk mencari kebahagiaan versi Anda. Terlalu lama Anda menimbang, makin singkat waktu Anda untuk minum air kebahagiaan. Dan belum tentu cara minum dan jenis minuman orang lain bisa kita terapkan untuk diri kita, karena lidah kita pun berbeda.  
Akhir dari tulisan ini pun pada akhirnya akan mengajak Anda berpikir kembali. Sudahkah Anda menikmati Air kebahagiaan dalam hidup  Anda?

28032011
MANA YANG HARUS KU DENGAR?
Oleh Wenny Rosalia Kusumawardani

Makin hari rasanya kita makin jauh saja dengan apa yang di katakan oleh hati
Makin hari rasanya kita lebih mendengarkan apa yang diucapkan orang lain kepada kita…dan pada akhirnya tak mengindahkan lagi kata hati
Makin hari rasanya kita lebih mengindahkan yang namanya norma-norma dan peraturan di masyarakat…dan pada akhirnya tak mendengarkan lagi kata hati
Apakah dengan ini kata hati lebih buruk daripada apa yang dikatakan orang lain dan yang tertulis dalam norma masyarakat?
Apakah kata hati sudah tidak layak lagi untuk diindahkan lagi untuk menuntun tingkah laku, sikap, prinsip hidup, pendapat, ide kita?
Dilema yang dirasa ketika kita lebih mengikuti kata hati..
Kita dianggap orang yang keras kepala tidak mau mendengar pendapat orang lain
Kita dianggap orang yang apatis dan bahkan kaum pemberontak norma masyarakat
Hah…kapan sebuah kata hati akan dianggap?
Bukankan kata orang lain pun belum tentu benar?
Bukankan kata orang lain belum tentu berlaku untuk kita juga?
Bukankan norma masyarakat pun sebenarnya berakar dari kata hati setiap orang yang menjadi kesepakatan?
Namun bukankah masih ada kemungkinan sebuah norma perlu ditinjau lagi…
Masih ingat kata-kata rekan sejawat…
Jika sebuah peraturan/norma tidak membawa kita pada sebuah perbaikan/perkembangan namun malah membawa kita kepada kemunduran/kesengsaraan maka norma/peraturan perlu ditinjau ulang…
Lalu jika Kata orang lain dan norma pun tidak selalu benar, mana yang harus kita ikuti?
Namun yang harus dijawab lebih dulu adalah…
Darimana sebenarnya asal kata hati?
Apakah kata hati yang kita rasa biasanya adalah benar-benar yang dimaksud dengan kata hati sebenarnya?
Jangan-jangan itu hanya sebuah pelampiasan ego dari kita manusia yang terbungkus rapi dengan dalih kata hati?
Mana yang harus ku dengar Teman….?

25012011
….NILAI SEBUAH PERJUANGAN…
Oleh Wenny Rosalia Kusumawardani

        Saat ini kita hidup di jaman yang serba cepat dan instan. Dengan hadirnya makanan cepat saji, makanan dan minuman dalam kemasan, alat informasi dan teknologi yang serba maju, maka orang tidak perlu repot-repot untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkannya, bahkan terkadang segala sesuatunya sudah tersedia sehingga tak perlu berpeluh banyak untuk mendapatkannya.
       Dewasa ini tak sedikit pula orang tua/orang dewasa yang menerapkan pola asuh pada anak-anaknya dengan menyediakan segala sesuatu yang dibutuhkan si anak, tanpa ada perjuangan yang berarti dari anak sebelumnya. Yang menjadi pemandangan sekarang adalah, si anak tinggal meminta ini itu, menyuruh ini itu dan segalanya tersedia tanpa ada usaha sendiri dari si anak.
       Pengajaran nilai hidup mengenai hakikat “hidup adalah sebuah perjuangan” akan menjadi hal yang langka dan mahal harganya jika kita sebagai orang tua/pendidik terus menerus memberikan toleransi yang berlebihan pada proses “perjuangan” anak-anak kita. Dalih “rasa kasihan” yang paling sering kita gunakan untuk memperbolehkan atau memberi kemudahan kepada anak-anak kita, untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan tanpa ada perjuangan yang pantas sebelumnya. 
       Inilah yang kemudian akan menjadi batu sandungan bagi mereka ketika mulai beranjak dewasa. Apalagi ketika si anak dituntut untuk belajar mandiri dan bertanggung jawab akan dirinya sendiri. Seperti yang kita alami, tak jarang apa yang kita alami diluar keinginan kita, bahkan apa yang kita rencanakan meleset jauh dari perkiraan. Bisa dibayangkan bagaimana masa depan generasi muda kita 20 tahun mendatang.
       Hal inilah yang perlu disadari oleh kita semua sebagai orang dewasa, terutama kita sebagai orang tua atau pendidik generasi muda. Bagaimana kita memperlakukan mereka dan apa yang kita ajarkan kepada mereka, akan sangat berpengaruh terhadap masa depan mereka.
        Jika kita cermati pula, kemudahan-kemudahan yang generasi muda kita terima tersebut akan berdampak pada kecenderungan mereka mendapatkan segala sesuatu yang diinginkannya dengan cepat dan instan pula. Maka jangan heran jika kita melihat generasi muda menjadi generasi yang tidak kuat mental dan rentan akan namanya sebuah kegagalan. Sedikit kesulitan dia akan langsung mengeluh dan berbelok arah. Sekali merasakan yang namanya kegagalan, dia akan merasa dunianya berakhir dan impiannya hancur.
Kesusahan Sehari, Cukuplah Untuk Sehari Saja. Mungkin Anda sekalian pernah mendengar atau bahkan sangat familiar dengan kalimat di atas. Kalimat di atas terhitung sangat simple dan mudah sekali untuk dipahami. Yah…kalimat di atas mengingatkan bahwa kita tidak boleh terlalu lama terjebak dalam kesedihan, kegagalan, kecemasan, atau hal-hal yang membuat kita kecewa akan usaha yang kita lakukan atau sebuah peristiwa yang telah menimpa kita.
       Banyak kalimat-kalimat motivasi lainnya yang mungkin pernah kita baca sebelumnya yang juga menekankan nilai yang sama. Bahkan rangkaian kata-kata secara apik mampu di gubah sedemikian rupa menjadi sebuah karya seni yang indah melalui tangan-tangan musisi muda kita berkaitan dengan tema tersebut. Katakanlah band ternama D’Massive dengan singlenya “Jangan Menyerah”, atau Bondan Prakoso dengan lagu andalannya “Ya Sudahlah” tak ingin kalah rasanya untuk menanamkan nilai hidup yang luhur dalam diri kita.
       Maka dari itu akan menjadi hal yang sangat mutlak di berikan kepada anak-anak kita pengertian bahwa keberhasilan adalah sebuah proses panjang dari sebuah perjuangan. Keberhasilan bukan merupakan hal yang mudah di beli hanya dengan uang, perlu banyak pengorbanan malahan, korban waktu, tenaga, dan pikiran. Dan yang tak kalah utamanya adalah tidak ada keberhasilan yang bisa di raih secara instan. Bahkan orang bijak pun berkata apabila kita ingin menjadikan keberhasilan sebagai rekan kita, maka kita pun sebelumnya harus berteman dengan yang namanya perjuangan dan kegagalan.
       Nilai-nilai hidup inilah yang saat ini masih perlu ditularkan pada para generasi muda kita. Apa jadinya jika generasi kita mulai dari awal perkembangannya tidak kita ajarkan nilai dari sebuah perjuangan. Dan sekarang maukah diantara kita ada yang menyediakan dirinya dengan rela menjadi salah satu pencetak generasi yang miskin akan nilai sebuah perjuangan? Semuanya kembali kepada kita masing-masing. J      

25012011